Bunga ini nampak kering dihimpit kenangan masa lalu..
Mati sudah karena ditinggal oleh sang waktu..
Meski layu dan mati, aku tetap pada pendirian saat itu..
Pemiliknya akan segera kembali menyambut rasaku..
------------------------BC------------------------
Aku menelungkupkan kepala diatas meja belajar. Kenangan tentangnya tak pernah luput dari ingatanku.
Tok--tok--tokk
Mendengar pintu diketuk, Kembali kutegakkan kepalaku,"Masuk!"
Alena menyembulkan kepalanya diambang pintu. Dia sepupuku, yang selalu saja menggangguku.
'Huh..dia lagi'
"Hai, Cor!"Dia menyapa sambil memamerkan cengiran konyolnya.
"Panggil namaku yang benar Len. Bunga saja cukup, jangan nama belakangku."
"Kamu kenapa? Sensi sekali."Dia mengambil posisi duduk ditempat tidurku.
Tak kuindahkan ucapannya. Aku menatap lembar kerja microsoft word yang masih nampak kosong.
"Writer's block!"Ujar Alena.
Tepat!
Ucapan Alena memang benar. Setiap penulis pasti pernah mengalami hal itu.
Tanganku bergerak mengambil Novel pertamaku dengan judul Puing Kenangan. Tanpa sadar, apa yang kutulis nyaris semua tentangnya. Ada bunga mawar yang dulu kuselipkan disana, mawar pemberian Leon waktu itu.
*FLASHBACK ON*
"Bunga yang cantik, untuk Bunga yang baik hati." Leon menyerahkan setangkai bunga mawar cantik padaku.
"Maksudmu apa, Leon? Bunga yang cantik untuk Bunga yang baik hati." Aku sedikit berpikir lalu mengulang kembali perkataannya.
"Bunga Cordelia.."Dia bergumam lirih.
"Hei, itu namaku."
"Kamu tahu, apa arti namamu itu?"
Aku menggeleng cepat, memang tidak tahu apa arti 'Cordelia' dibelakang namaku.
"Bodoh!"Dia mengacak pelan poniku.
"Kenapa kamu mengataiku bodoh?"
Dia menengadahkan kepalanya, memandang langit biru yang memayungi sebuah taman tempat kami berada.
"Cordelia itu artinya baik hati."
"Benarkah?"Tanyaku antusias.
"Hm--
"Dari mana kamu tahu?"
"Dijaman secanggih ini apa pun bisa dilakukan, kamu ini seperti hidup dijaman batu. Coba cari tahu arti namamu lewat mesin pencari."Tuturnya.
Aku mengerucutkan bibir, dia benar-benar keterlaluan. Sudah mengataiku bodoh dan sekarang dia bilang aku seperti hidup dijaman batu?
"Bunga yang baik hati tidak boleh marah,"Leon menarik kedua sudut bibirku membentuk sebuah senyum.
"Kamu ini,"Dengan ganas kucubit pinggangnya, hingga membuat dia meringis.
"Aw-- sakit."
Aku terkekeh. Dia menatapku lekat, jantung ini seolah ingin melompat dibuatnya. Namun ada yang berbeda, senyumnya tiba-tiba memudar.
"Ada apa, Leon?"
"Aku harus pergi."Kudengar dia menghela nafas berat.
Tenggorokanku seperti tercekat, hingga tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Kami bersahabat cukup lama, jadi perpisahan ini sepertinya akan terasa berat. Terlebih ada rasa lebih dari sahabat yang tiba-tiba tertanam dihatiku.
"Maafkan aku, Bunga."
"Per--gi kemana?"
"Ke luar kota. Aku akan melanjutkan kuliah disana."
"Tapi kenapa? Bukankah disini juga banyak Universitas yang bagus?"
"Bukan karena itu, Ayahku pindah tugas. Kamu tahukan aku hanya memiliki Ayah sekarang, dan tidak ingin Ayah disana seorang diri."
"Lalu bagaimana denganku?"
"Jaga dirimu baik-baik, kejar mimpi-mimpimu, aku ingin melihatmu menjadi penulis hebat. Suatu hari nanti, aku akan kembali untuk menemuimu."
"Kamu janji akan menemuiku lagi, Leon?"
"Tentu, tunggu aku kembali!"
Aku mengangguk. Setidaknya sudah berjanji, dan kalian tahu? Bukankah janji adalah hutang? Hutang harus dibayar. Dan aku yakin dia akan kembali untuk menepati janjinya.
*FLASHBACK OFF*
"Bunga itu sudah kering dan tak bernyawa."Alena berucap tiba-tiba.
Aku diam. Ujung-ujungnya dia pasti memintaku untuk melupakan Leon.
"Sudahlah, lupakan Leon! Kamu tidak tahu kan? Barangkali disana dia sudah memiliki seorang gadis, sampai-sampai dia melupakanmu!"
"Tidak! Dia sudah berjanji untuk kembali padaku."
"Lupakanlah, percaya padaku jika kamu terus menunggu akan sia-sia akhirnya."
"Melupakan. Apa itu? Sejenis makanankah?"Ujarku skeptis.
Alena diam.
"Coba kamu jadi aku, melupakan seseorang itu tidak semudah membalikan telapak tangan."
"Bunga, kamu sulit melupakannya karena kamu tetap kekeh pada pendirianmu bahwa dia akan kembali padamu. Tanpa menyadari, bahwa itu adalah sesuatu yang bersifat semu. Dia tak mengikatmu, tak juga memelukmu ketika dia pergi darimu."
"Dia mengikatku tanpa rantai, dan dia memelukku tanpa menyentuh."
"Sulit memang berbicara dengan seorang penulis."Alena berdecak kesal.
"Pulanglah, Len. Aku tidak bisa berpikir jika kamu terus disini. Novel kedua ini harus segera terbit, jadi beri aku waktu untuk sendiri menyepi."Ujarku sambil mendorongnya keluar dari kamar.
------------------------BC------------------------
Karena tak kunjung mendapat inspirasi Aku membuka halaman facebook. Akun facebook milikku sudah berdebu karena begitu jarang ku buka. Ada beberapa notif dan inbox.
Tak ada yang aneh, hanya begitu-begitu saja. Hingga mataku menangkap nama profilnya di inbox.
Leon Ardhana
Lama tak bertemu, bagaimana kabarmu Bunga?
Aku merindukan Bunga baik hati ini..
Bunga Cordelia apa kamu melupakanku? Kenapa tak ada satu pun chatku kamu balas? Aku sulit menghubungimu. Nomorku yang dulu hilang.
Dan beberapa pesan lainnya. Aku melompat kegirangan. Apa yang kubilang bukan omong kosong, Leon akan segera menemuiku. Tanganku menari dengan lincah diatas keyboard.
Bunga Cordelia
Aku juga merindukanmu, Leon.
Kapan kembali?
Aku pikir malah kamu yang melupakanku. Aku sudah jadi penulis sekarang. Tak inginkah kamu menemuiku?
Send
Aku tersenyum puas setelah mengirim pesan itu.
Leon Ardhana
Minggu depan kita harus bertemu, aku sangat merindukanmu. 5 tahun yang lalu kau masih terlihat pendek. Bagaimana sekarang?
Oh iya, ada seseorang yang ingin aku kenalkan padamu.
Bunga Cordelia
Tentu, aku tunggu ditempat biasa.
Taman langit..
"Leon akan kembali."Aku terus bergumam.
Taman langit, sebenarnya tempat itu adalah sebuah tamab sederhana dekat komplek rumahku, karena begitu luas dan terdapat hamparan rerumputan dibawah naungan langit biru, akhirnya kami namai tempat itu Taman Langit.
------------------------BC------------------------
Hari itu tiba. Leon mengajakku bertemu, tentu saja aku menyambutnya dengan antusias.
Aku membongkar lemari, memilih baju mana yang harus ku kenakan.
"Yaallah, Bunga kenapa bajumu berantakan seperti ini."
"Aku akan pergi dengan Leon."
"Dia benar-benar kembali?"
"Tentu saja, ucapanku terbukti bukan?"
"Baiklah, semoga bahagia selalu bersamamu Bunga."Ujar Alena.
Dengan dress polos selutut warna blue mint aku berjalan tergesa menuju Taman langit.
Bangku taman tempat biasa masih nampak kosong, mungkin Leon akan datang terlambat. Aku duduk sendiri disana.
Tak berselang lama seseorang menutup mataku.
"Leon,"Lirihku.
"Kenapa kamu tahu?"Leon melepaskan tangannya yang menutupi mataku, kemudian mengambil posisi duduk tepat disebelahku.
"Tambah cantik,"
"Kamu juga tampan."
"Bunga baik hati yang cantik ini apa sudah ada pemiliknya?"
Aku membuang pandanganku kearah lain, sudah pasti pipiku ini memerah. Mungkinkah Leon berniat menggodaku sebelum mengungkapkan perasaannya.
"Kenapa membuang muka?"Leon kembali bertanya.
Kuberanikan diri menatapnya. Haruskah aku jawab ;
'Aku tidak memiliki siapapun, karena aku menunggumu Leon.'
Aku menggeleng cepat, rasanya terlalu frontal jika aku berucap seperti itu.
"Hei, kamu ini kenapa?"
"Tidak."
"Aku ingin mengatakan sesuatu."Tanpa komando kami mengucapkannya secara bersamaan.
Aku terkekeh, begitupun Leon.
"Kamu duluan,"
"Kamu saja duluan, Leon."
"Baiklah, ada yang ingin aku kenalkan."
"Siapa?"
"Dimana ya?"Dia nampak mencari seseorang.
"Eh itu, Alyaaa..."Leon berteriak.
Gadis yang dipanggil kemudian menoleh dan tersenyum ramah.
"Itu Alya, tunangan aku."
Deg
"Tu--tunangan?"Aku tergagap.
Leon mengangguk.
"Alya, kenalkan ini Bunga sahabtaku."Leon memperkenalkanku pada tunangannya.
Alya mengulurkan tangan, dan aku langsung menyambutnya.
Mataku memanas, sesak rasanya harus menerima kenyataan menyakitkan ini. Sahabat? Lima tahun menunggu hanya untuk menjadi sahabatnya?
"Bunga, kenapa kamu menangis?"
Ah bodoh!
Rupanya tanpa perintah air mata ini jatuh begitu saja.
"Nggak apa-apa.."
"Aku tahu kamu, Bunga. Pasti ada sesuatu yang membuatmu menangis."
Jika dia mengenalku, bukankah seharusnya dia juga tahu perasaanku?
Aku melirik sekilas tunangannya, dia menatap kami bingung. Gadis itu memang cantik, lembut pantas untuk Leon.
"Seharusnya aku memang tidak pernah menunggu."Kalimat itu keluar tanpa kontrol dari mulutku.
"Maksud kamu apa?"
"Disini aku menunggu selayaknya perempuan yang menunggu kekasihnya pulang. Padahal kamu pergi tanpa memberiku kepastian lebih dulu. Aku mengkhawatirkanmu, aku memikirkanmu, tanpa tau apakah disana kamu juga melakukan hal yang sama? Namun sepertinya tidak."
"Aku mengkhawatirkanmu, aku memilirkanmu tapi hanya sebagai seorang sahabat, Bunga."
"Bunga, Ya seharusnya dulu aku tidak terpaku pada filosofi bunga mawar. Bunga yang diberikan sebagai tanda cinta, dan sudah sepantasnya aku menyadari jika bunga itu hanya sebagai tanda persahabatan."
Leon diam seribu bahasa.
"Beberapa orang memintaku shalat istikharah, agar Allah bisa memberi jawaban haruskah aku pergi atau tetap bertahan. Namun aku tak melakukannya, karena terlalu takut jawaban yang Allah berikan adalah PERGI. Aku masih berpegang pada keyakinanku bahwa kamu akan kembali sebagai Leonku,milikku. Ternyata salah, hari ini Allah memberitahuku dengan cara yang lebih kasar. Padahal jika hari itu aku mau mengadu pada_Nya, meminta pendapat_Nya tentu tidak akan sesakit ini."
Susah payah aku meredam tangisku, meredakan sesak dalam kalbu, namun rasa sakit itu tak memberiku waktu untuk sekedar bernafas.
"Bunga yang bodoh. Iya kan?"Aku menatapnya lagi.
Leon tertunduk.
Kuhirup udara dalam dalam.
"Sudahlah lupakan, mungkin aku saja yang terlalu berharap. Bunga Cordelia yang malang,"Aku tersenyum miris.
"Maafkan aku, Bunga."
"Seperti yang kamu bilang, Cordelia itu baik hati. Bunga Cordelia tidak akan marah. Kita akan tetap bersahabat."
"Maaf, aku tidak tahu jika kamu mengartikan lain. Aku menyayangimu, perduli padamu, aku selalu memikirkanmu, mengkhawatirkanmu. Tapi rasaku itu hanya sebatas perasaan sahabat pada sahabatnya."
"Harusnya aku tahu itu. Terimakasih Leon, semoga kalian bahagia."
Aku melangkah pergi meninggalkan keduanya.
Sakit? Sudah pasti!
Cinta tak bersambut cukup mengoyak hati.
Tapi itu lebih baik, dari pada bersama namun akhirnya saling menyakiti.
Lebih baik sakit sekali kemudian melangkah pergi.
------------------------BC------------------------
Karena kejadian itu, Novel keduaku yang berjudul "BUNGA CORDELIA" berhasil diterbitkan dengan harapan tidak ada Bunga Bunga lain yang bernasib sama denganku.
Serahkan hatimu pada_Nya.
Karena dengan mengikut sertakan campur tangan_Nya hatimu takkan terluka..
*THE END*
Mati sudah karena ditinggal oleh sang waktu..
Meski layu dan mati, aku tetap pada pendirian saat itu..
Pemiliknya akan segera kembali menyambut rasaku..
------------------------BC------------------------
Aku menelungkupkan kepala diatas meja belajar. Kenangan tentangnya tak pernah luput dari ingatanku.
Tok--tok--tokk
Mendengar pintu diketuk, Kembali kutegakkan kepalaku,"Masuk!"
Alena menyembulkan kepalanya diambang pintu. Dia sepupuku, yang selalu saja menggangguku.
'Huh..dia lagi'
"Hai, Cor!"Dia menyapa sambil memamerkan cengiran konyolnya.
"Panggil namaku yang benar Len. Bunga saja cukup, jangan nama belakangku."
"Kamu kenapa? Sensi sekali."Dia mengambil posisi duduk ditempat tidurku.
Tak kuindahkan ucapannya. Aku menatap lembar kerja microsoft word yang masih nampak kosong.
"Writer's block!"Ujar Alena.
Tepat!
Ucapan Alena memang benar. Setiap penulis pasti pernah mengalami hal itu.
Tanganku bergerak mengambil Novel pertamaku dengan judul Puing Kenangan. Tanpa sadar, apa yang kutulis nyaris semua tentangnya. Ada bunga mawar yang dulu kuselipkan disana, mawar pemberian Leon waktu itu.
*FLASHBACK ON*
"Bunga yang cantik, untuk Bunga yang baik hati." Leon menyerahkan setangkai bunga mawar cantik padaku.
"Maksudmu apa, Leon? Bunga yang cantik untuk Bunga yang baik hati." Aku sedikit berpikir lalu mengulang kembali perkataannya.
"Bunga Cordelia.."Dia bergumam lirih.
"Hei, itu namaku."
"Kamu tahu, apa arti namamu itu?"
Aku menggeleng cepat, memang tidak tahu apa arti 'Cordelia' dibelakang namaku.
"Bodoh!"Dia mengacak pelan poniku.
"Kenapa kamu mengataiku bodoh?"
Dia menengadahkan kepalanya, memandang langit biru yang memayungi sebuah taman tempat kami berada.
"Cordelia itu artinya baik hati."
"Benarkah?"Tanyaku antusias.
"Hm--
"Dari mana kamu tahu?"
"Dijaman secanggih ini apa pun bisa dilakukan, kamu ini seperti hidup dijaman batu. Coba cari tahu arti namamu lewat mesin pencari."Tuturnya.
Aku mengerucutkan bibir, dia benar-benar keterlaluan. Sudah mengataiku bodoh dan sekarang dia bilang aku seperti hidup dijaman batu?
"Bunga yang baik hati tidak boleh marah,"Leon menarik kedua sudut bibirku membentuk sebuah senyum.
"Kamu ini,"Dengan ganas kucubit pinggangnya, hingga membuat dia meringis.
"Aw-- sakit."
Aku terkekeh. Dia menatapku lekat, jantung ini seolah ingin melompat dibuatnya. Namun ada yang berbeda, senyumnya tiba-tiba memudar.
"Ada apa, Leon?"
"Aku harus pergi."Kudengar dia menghela nafas berat.
Tenggorokanku seperti tercekat, hingga tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Kami bersahabat cukup lama, jadi perpisahan ini sepertinya akan terasa berat. Terlebih ada rasa lebih dari sahabat yang tiba-tiba tertanam dihatiku.
"Maafkan aku, Bunga."
"Per--gi kemana?"
"Ke luar kota. Aku akan melanjutkan kuliah disana."
"Tapi kenapa? Bukankah disini juga banyak Universitas yang bagus?"
"Bukan karena itu, Ayahku pindah tugas. Kamu tahukan aku hanya memiliki Ayah sekarang, dan tidak ingin Ayah disana seorang diri."
"Lalu bagaimana denganku?"
"Jaga dirimu baik-baik, kejar mimpi-mimpimu, aku ingin melihatmu menjadi penulis hebat. Suatu hari nanti, aku akan kembali untuk menemuimu."
"Kamu janji akan menemuiku lagi, Leon?"
"Tentu, tunggu aku kembali!"
Aku mengangguk. Setidaknya sudah berjanji, dan kalian tahu? Bukankah janji adalah hutang? Hutang harus dibayar. Dan aku yakin dia akan kembali untuk menepati janjinya.
*FLASHBACK OFF*
"Bunga itu sudah kering dan tak bernyawa."Alena berucap tiba-tiba.
Aku diam. Ujung-ujungnya dia pasti memintaku untuk melupakan Leon.
"Sudahlah, lupakan Leon! Kamu tidak tahu kan? Barangkali disana dia sudah memiliki seorang gadis, sampai-sampai dia melupakanmu!"
"Tidak! Dia sudah berjanji untuk kembali padaku."
"Lupakanlah, percaya padaku jika kamu terus menunggu akan sia-sia akhirnya."
"Melupakan. Apa itu? Sejenis makanankah?"Ujarku skeptis.
Alena diam.
"Coba kamu jadi aku, melupakan seseorang itu tidak semudah membalikan telapak tangan."
"Bunga, kamu sulit melupakannya karena kamu tetap kekeh pada pendirianmu bahwa dia akan kembali padamu. Tanpa menyadari, bahwa itu adalah sesuatu yang bersifat semu. Dia tak mengikatmu, tak juga memelukmu ketika dia pergi darimu."
"Dia mengikatku tanpa rantai, dan dia memelukku tanpa menyentuh."
"Sulit memang berbicara dengan seorang penulis."Alena berdecak kesal.
"Pulanglah, Len. Aku tidak bisa berpikir jika kamu terus disini. Novel kedua ini harus segera terbit, jadi beri aku waktu untuk sendiri menyepi."Ujarku sambil mendorongnya keluar dari kamar.
------------------------BC------------------------
Karena tak kunjung mendapat inspirasi Aku membuka halaman facebook. Akun facebook milikku sudah berdebu karena begitu jarang ku buka. Ada beberapa notif dan inbox.
Tak ada yang aneh, hanya begitu-begitu saja. Hingga mataku menangkap nama profilnya di inbox.
Leon Ardhana
Lama tak bertemu, bagaimana kabarmu Bunga?
Aku merindukan Bunga baik hati ini..
Bunga Cordelia apa kamu melupakanku? Kenapa tak ada satu pun chatku kamu balas? Aku sulit menghubungimu. Nomorku yang dulu hilang.
Dan beberapa pesan lainnya. Aku melompat kegirangan. Apa yang kubilang bukan omong kosong, Leon akan segera menemuiku. Tanganku menari dengan lincah diatas keyboard.
Bunga Cordelia
Aku juga merindukanmu, Leon.
Kapan kembali?
Aku pikir malah kamu yang melupakanku. Aku sudah jadi penulis sekarang. Tak inginkah kamu menemuiku?
Send
Aku tersenyum puas setelah mengirim pesan itu.
Leon Ardhana
Minggu depan kita harus bertemu, aku sangat merindukanmu. 5 tahun yang lalu kau masih terlihat pendek. Bagaimana sekarang?
Oh iya, ada seseorang yang ingin aku kenalkan padamu.
Bunga Cordelia
Tentu, aku tunggu ditempat biasa.
Taman langit..
"Leon akan kembali."Aku terus bergumam.
Taman langit, sebenarnya tempat itu adalah sebuah tamab sederhana dekat komplek rumahku, karena begitu luas dan terdapat hamparan rerumputan dibawah naungan langit biru, akhirnya kami namai tempat itu Taman Langit.
------------------------BC------------------------
Hari itu tiba. Leon mengajakku bertemu, tentu saja aku menyambutnya dengan antusias.
Aku membongkar lemari, memilih baju mana yang harus ku kenakan.
"Yaallah, Bunga kenapa bajumu berantakan seperti ini."
"Aku akan pergi dengan Leon."
"Dia benar-benar kembali?"
"Tentu saja, ucapanku terbukti bukan?"
"Baiklah, semoga bahagia selalu bersamamu Bunga."Ujar Alena.
Dengan dress polos selutut warna blue mint aku berjalan tergesa menuju Taman langit.
Bangku taman tempat biasa masih nampak kosong, mungkin Leon akan datang terlambat. Aku duduk sendiri disana.
Tak berselang lama seseorang menutup mataku.
"Leon,"Lirihku.
"Kenapa kamu tahu?"Leon melepaskan tangannya yang menutupi mataku, kemudian mengambil posisi duduk tepat disebelahku.
"Tambah cantik,"
"Kamu juga tampan."
"Bunga baik hati yang cantik ini apa sudah ada pemiliknya?"
Aku membuang pandanganku kearah lain, sudah pasti pipiku ini memerah. Mungkinkah Leon berniat menggodaku sebelum mengungkapkan perasaannya.
"Kenapa membuang muka?"Leon kembali bertanya.
Kuberanikan diri menatapnya. Haruskah aku jawab ;
'Aku tidak memiliki siapapun, karena aku menunggumu Leon.'
Aku menggeleng cepat, rasanya terlalu frontal jika aku berucap seperti itu.
"Hei, kamu ini kenapa?"
"Tidak."
"Aku ingin mengatakan sesuatu."Tanpa komando kami mengucapkannya secara bersamaan.
Aku terkekeh, begitupun Leon.
"Kamu duluan,"
"Kamu saja duluan, Leon."
"Baiklah, ada yang ingin aku kenalkan."
"Siapa?"
"Dimana ya?"Dia nampak mencari seseorang.
"Eh itu, Alyaaa..."Leon berteriak.
Gadis yang dipanggil kemudian menoleh dan tersenyum ramah.
"Itu Alya, tunangan aku."
Deg
"Tu--tunangan?"Aku tergagap.
Leon mengangguk.
"Alya, kenalkan ini Bunga sahabtaku."Leon memperkenalkanku pada tunangannya.
Alya mengulurkan tangan, dan aku langsung menyambutnya.
Mataku memanas, sesak rasanya harus menerima kenyataan menyakitkan ini. Sahabat? Lima tahun menunggu hanya untuk menjadi sahabatnya?
"Bunga, kenapa kamu menangis?"
Ah bodoh!
Rupanya tanpa perintah air mata ini jatuh begitu saja.
"Nggak apa-apa.."
"Aku tahu kamu, Bunga. Pasti ada sesuatu yang membuatmu menangis."
Jika dia mengenalku, bukankah seharusnya dia juga tahu perasaanku?
Aku melirik sekilas tunangannya, dia menatap kami bingung. Gadis itu memang cantik, lembut pantas untuk Leon.
"Seharusnya aku memang tidak pernah menunggu."Kalimat itu keluar tanpa kontrol dari mulutku.
"Maksud kamu apa?"
"Disini aku menunggu selayaknya perempuan yang menunggu kekasihnya pulang. Padahal kamu pergi tanpa memberiku kepastian lebih dulu. Aku mengkhawatirkanmu, aku memikirkanmu, tanpa tau apakah disana kamu juga melakukan hal yang sama? Namun sepertinya tidak."
"Aku mengkhawatirkanmu, aku memilirkanmu tapi hanya sebagai seorang sahabat, Bunga."
"Bunga, Ya seharusnya dulu aku tidak terpaku pada filosofi bunga mawar. Bunga yang diberikan sebagai tanda cinta, dan sudah sepantasnya aku menyadari jika bunga itu hanya sebagai tanda persahabatan."
Leon diam seribu bahasa.
"Beberapa orang memintaku shalat istikharah, agar Allah bisa memberi jawaban haruskah aku pergi atau tetap bertahan. Namun aku tak melakukannya, karena terlalu takut jawaban yang Allah berikan adalah PERGI. Aku masih berpegang pada keyakinanku bahwa kamu akan kembali sebagai Leonku,milikku. Ternyata salah, hari ini Allah memberitahuku dengan cara yang lebih kasar. Padahal jika hari itu aku mau mengadu pada_Nya, meminta pendapat_Nya tentu tidak akan sesakit ini."
Susah payah aku meredam tangisku, meredakan sesak dalam kalbu, namun rasa sakit itu tak memberiku waktu untuk sekedar bernafas.
"Bunga yang bodoh. Iya kan?"Aku menatapnya lagi.
Leon tertunduk.
Kuhirup udara dalam dalam.
"Sudahlah lupakan, mungkin aku saja yang terlalu berharap. Bunga Cordelia yang malang,"Aku tersenyum miris.
"Maafkan aku, Bunga."
"Seperti yang kamu bilang, Cordelia itu baik hati. Bunga Cordelia tidak akan marah. Kita akan tetap bersahabat."
"Maaf, aku tidak tahu jika kamu mengartikan lain. Aku menyayangimu, perduli padamu, aku selalu memikirkanmu, mengkhawatirkanmu. Tapi rasaku itu hanya sebatas perasaan sahabat pada sahabatnya."
"Harusnya aku tahu itu. Terimakasih Leon, semoga kalian bahagia."
Aku melangkah pergi meninggalkan keduanya.
Sakit? Sudah pasti!
Cinta tak bersambut cukup mengoyak hati.
Tapi itu lebih baik, dari pada bersama namun akhirnya saling menyakiti.
Lebih baik sakit sekali kemudian melangkah pergi.
------------------------BC------------------------
Karena kejadian itu, Novel keduaku yang berjudul "BUNGA CORDELIA" berhasil diterbitkan dengan harapan tidak ada Bunga Bunga lain yang bernasib sama denganku.
Serahkan hatimu pada_Nya.
Karena dengan mengikut sertakan campur tangan_Nya hatimu takkan terluka..
*THE END*